Selasa, 24 Maret 2009

Gunung Padang



Setelah melibas jalan terpanjang di Bandung ini yaitu Kopo Soreang, Honda Win kesayangan ku dengan gemulai melahap jalan Ciwidey yang bernaik turun dan tikungan tajam, beberapa motor keluaran baru dengan berbagai merekpun mampu aku siap tanpa perlawanan berarti.

Cuaca yang cukup cerah membuat tambah semangat di hari ahad itu, setelah sekitar dua puluh menit sampailah di kantor POLSEK Pasir Jambu ( tenang tidak ada urusan sama bapak Polisi ) di sanalah kita belok kanan menuju Rawa Bogo, jalannya cukup bagus beraspal kiri kananya campur antara rumah dan sawah. Ikutilah terus jalan ini hingga akhirnya kita bisa menemukan beberapa bukit dan kebun teh dan jalanpun mulai berlubang, jalan aspal yang sudah rusak.

Sekitar lima belas menit kita masuk kebun Pinus dengan jalan aspal lumbayan bagus kembali. tentu dengan hawa sejuk. Di warung saya berhenti sekaligus menanyakan Gunung Padang.

“ bu upami ka Gunung Padang leres jalan ieu ? “ Tanya ku sama ibu warung.
“ oh…muhun sep jalan ieu, kantun teras mapay jalan ieu ! ” jawabnya.

Sambil mengorek informasi sayapun membeli, korek api, combro, kue bangkit, dan permen karet cap Yosan. Semuanya cuman Rp.2.000,-

” Sep nyarira ? bade kanu motor ?” si ibu itu kembali nanya
“ muhun bu nyarira, ngangu motor ? “ jawab ku, sambil menikmati Combro tiis.
” oh...mun kanu motor mah sesah, jalan na taneh berum, Ojek ge sok ban na ngango rante !! upami usum hujan kieu mah sesah ! leuer ! ”

Serasa disiram air panas semangat ku mulai meleleh setelah si Ibu warung tadi ngasih tau medan yang harus aku tempuh. Walau demikian aku tetap tekad untuk meneruskan petualangan ini. Pikir ku inilah saatnya saya membuktikan kalau kuda besi ku ini mampu menjajal trek berat. Walau kondisi mesin masih standar, dengan kekuatan mesin 99 cc aku bertekad melahap tiap jengkal tanah.

Sesuai petunjuk si Ibu sayapun meneruskan perjalanan yang tinggal sebentar lagi, setelah bulak-balik akhirnya saya menemukan jalan berupa ”gang” di hutan pinus. Tidak adanya petunjuk berupa plang atau papan informasi memang sulit untuk menemukan kalau kita tidak bertanya pada penduduk sekitar.

Jalannya hanya selebar dua motor bebek berbaris, dan langsung menanjak, kalau di lihat tipogarafinya kita memotong bukit. Tanahnya merah. Kalau hujan maka jalan ini akan menjadi aliran air. Untung saya sudah pernah mengalami jalan seperti ini, tapi sayang dulu saya menggunakan motor 100% motor trail 125 cc dengan suspensi aduhai, dan kaki-kaki macho. Tapi sekarang yang saya alami menggunakan motor bencong. Alias motor sport bermesin bebek, dengan suspensi ala kadarnya. Bahkan shock belakang sudah pecah.hingga menggangu manuver.

Walau demikian semua bisa saya atasi bahkan bisa saya nikmati. Hanya dengan gigi satu dan sedikit gas sayapun sedikit demi sedikit melahap tanah merah, dengan kiri kanan pohon pinus yang masih cukup muda tinggi sekitar dua hingga empat meter. Sangat sejuk dan adem. Maka disinalah saya merasakan kenikmatan saat menunggangi si Honda Win ini. Terasa di atas kuda poni. Walau pelan sekitar 15 KM / jam. Tapi inilah kenikmatan hobi otomotif dengan petualangan yang saling mendukung.

Semakin ke atas jalan pun semakin lebar, selebar satu mobil kecil. Dan jalanpun semakin enteng tapi tetap aja full tanah merah, bila tersorot panas matahari akan tambah terang. Dan beberapa ladang mulai bisa kita temukan.

Setelah 15 menit akhirnya saya sampai di gerbang. Terlihat 3 gubuk, yang satu warung, yang lainnya tempat tinggal. Beberapa pemuda dan bapak-bapak sedang asik ngobrol, sayapun .......

” punten...pa ieu teh tos dugi Gunung Padang ? ” tanya ku, yang sesuai sopan santun urang sunda. dengan kompak merekapun menjawab ” muhun tos dugi, motorna simpin didieu weh ! ” balasnya

Otomatis sayapun senang akhirnya bisa nyampai gunung Padang dengan lancar. Setelah mengorek informasi seputar gunung Padang plus basa-basi, kemabli saya melanjutkan.

SAATNYA MENGUNAKAN KAKI.
Dari tadi kaki ini belum bergerak sebagaimana mestinya, akhirnya kedua kaki ini saya pakai, dan terasa enak saat langkah demi langkah meninjak bumi ini, tiap organ pun ikut bergerak secara teratur terutama pompa jantung terasa semakin cepat. Hawa pegunungan yang sudah lama tidak saya hirup akhirnya bisa saya nikamati dengan bebas tanpa takut polusi.

Karena seorang diri saya hanya bisa mengobrol dengan diri sendiri tanpa tema khusus, tapi alampun ikut nimbrung mendengarkan perbincangan saya. Seolah mengerti. Angin meniupkan semilirnya, kicau burung yang malu-malu menimpa kesunyian. Oh..sungguh saya adalah bagian dari semesta alam, yang malu telah memperlakukan alam itu sendiri dengan kasar. Baik disadari atau tidak. Walau demikian alam ini sangat bijak.

Jalanya berupa batu-batu yang sudah disusun rapih. Dari kejauhan kita bisa melihat bentuk aliran waduk Saguling yang mirip tumpahan air di atas tanah. Huhh...sungguh mempesona.

Akhirnya maskot atau primadona Gunung Padang sudah ada di hadapan saya yaitu; Batu-batu raksasa. Sebesar rumah tipe 34. batu ini tampak tua dan kelihatan angker. Dari informasi yang saya peroleh kalau Batu ini peninggalan jaman pra sejarah, dan memiliki nama-nama. Sejenak saya takjub, plus berpikir ” kumaha mun ninggang urang ” wah pasti jadi dodol.

Dari papan informasi Perhutani aja Gunung ini dikatagorikan Wisata Gunung Spiritual. Maka suasana angker dan mistik bisa kita rasakan, apalagi saya sendirian. Sekalipun saya tidak percaya mistik tapi sedikit terbawa suasana. Tapi nikmati aja keindahan alam ini.
Untuk naik ke atas ada selah seukuran tubuh manusia jadi kita bisa naik.

Di atas kita masih bisa menemukan tumpukan batu, yang mirip taman batu. Gunung Padang biasa dipakai ritual meminta sesuatu melalui pelantara batu-batu raksasa ini. Di waktu-waktu tertentu gunung Padang bisa di pakai acara ritual khusus, seperti oleh kelompok sunda buhun, hal ini pernah saya lihat di tayangan tv, bahkan artis terkenal berdarah sunda ikut memeriahkan acara tersebut.

Sejenak saya hanya bisa bersyukur menikmati ciptaan Nya, dengan penuh kagum, inilah seni instalasi yang paling indah tanpa bisa dikalahkan seniman ternama. Tapi sayang karya seni ini berubah fungsi jadi ladang dosa, dan muraka Tuhan.