Senin, 22 Juni 2009

Gua Pawon, Situs Yang Sekarat










Perbukitan Padalarang


Selama saya keliling Bandung baik arah selatan, utara, timur dan barat, maka arah terakhirlah yang jarang saya jelajahi. Bandung barat yang sekarang mulai terdengar baru, karena baru saja memisahkan diri dan membuat kabupaten baru. Bukan tanpa alasan saya tidak menjelajah bagian barat ini. Karena yang saya tau tempat wisata atau tempat-tempat menarik masih jarang terdengar.

Yang saya tau tempat menarik paling Situ Ciburuy atau Citatah. Citatah sendiri termasuk tempat menarik khusus karena tempat ini terkenal hanya dikalangan Pecinta alam saja sebagai tempat manjat tebing.

Di gagahnya tebing-tebing itu ternyata ada satu tempat yang sangat berharga bagi nilai sejarah manusia. Yaitu ditemukannya fosil manusia purba. Perbukitan Padalarang adalah dasar laut pada 23 juta tahun yang lalu. Pada masa yang disebut Oligosen.

Jadi ada “bekas”riwayat bumi yang masih ada didekat kita, yaitu perbukitan Padalarang, Citatah, hingga Raja mandala. Sebut saja ; Gunung Hawu,Gunung Panganten, Gunung Masigit hingga Pasir Pawon. Tapi kita belum bisa bangga sepenuhnya dengan harta karun itu, karena sejengkal demi sejengkal perbukitan itu telah di ekspolitasi tanpa ampun . Beberapa gunung mulai hampir rata dengan tanah.

Inilah realita yang mengandung ironi dan miris. Antara uang dan ketidaktauan. Semoga saja situs ini masih bisa berdiri dan bertahan menerpa hasrat manusia.

Gua Pawon

Sebelum kita masuk Gua Pawon maka terlebih dahulu kita akan melewati Pasir ( bukit ) Pawon. Di dalam gua Pawon terdapat lubang-lubang besar menganga baik vertical atau horizontal. Dari kejauhan gua Pawon mirip kayu jati yang dimakan rayap.

Setelah masuk “pintu”utama kita disuguhi moleknya ciptaan sang khalik, seperti sebuah rumah ada bagian yang mirip jendela. Pintu keluar masuk, bila kita lebih masuk kedalam maka akan terasa lebih lembab, karena cahaya matahari yang minim. Kitapun bisa menyaksikan tetesan air dari atas yaitu hasil resapan akar-akar pepohonan yang ada di atas gua Pawon.

Tapi namanya juga gua, maka ada mahluk yang lebih berhak untuk tinggal disini yaitu sang Batman alias kelerawar. Maka aroma bau pesing dari air seni puluhan kelelawar akan menggangu penjelajahan kita, selain itu banyak berserakan kotoran hewan malam ini. Tapi jangan khawatir karena tidak terlalu banyak, dan masih aman.Bagi masyarakat sekitar kotorannya sering dimanfatkan sebagai pupuk lading atau perkebunan mereka, yang tentu geratis.

Tempat yang paling penting di Gua Pawon ada di luar “ruangan” gua, kita cukup mengikuti jalur kesebelah kanan, sekitar 20 meter, kita harus “ngolong” terlebih dahulu, kalau disiang hari kita masih bisa tanpa alat penerangan, karena cahaya matahari masih menyusup. Setelah itu kita akan keluar dari Gua utama, dan masuk kehalaman sebelah. Kiri kanan masih terdapat tebing tinggi menjulang . di bawahnya terdapat tumbuhan yang tentu sagat menyegarkan dan menyejukan.

Tempat fosil atau situs Gua Pawon terdapat di Gua Kopi yang masih berada di komplek Gua Pawon. Disana terdapat benda-benda budaya purbakala manusia prasejarah seperti kerangka Homo sapiens. Kerangka ini bukti catatan sejarah yang sangat berharga bagi pengetahuan umat manusia.tentunya tidak milik warga Bandung saja.

Kita sebagai pengunjung tidak bisa melihat secara jelas karena gua yang berukuran seperti kamar ini di Pagar telaris oleh dinas terkait, dengan tujuan menjaga dari tangan-tangan jail. kerangka Homo sapiens itu berada di galian kurang lebih kedalaman 120 meter.

Setelah menikmati warisan itu, kita tidak bisa lega atau bahagia penuh. Karena dibeberapa dinding gua terdapat vandalism manusia “modern” yang tidak bertanggung jawab. Mereka mencorat-coret hampir semua dinding, baik dengan cat atau “pilok” . inilah ketidak tauan bahkan kekonyolan bangsa kita, yang tidak menghargai nilai sejarah.


Kamis, 18 Juni 2009

Semalam.......


Semalam…

Ketika menghadiri pertunjukan Cie Accrorap di teater tertutup taman budaya Dago. Sebelum pertunjukan dimulai :
Sebelah kanan saya seorang wanita muda bersama pacarnya ngobrol sambil ngutak ngatik iphone dengan sentuhan jarinya, di depan saya Pemuda dengan Blackbery di genggamanya nampak asik berselancar di dunia maya, sebelah kanan saya masih pemuda dengan camera Canon EOS 1D mark III plus lensa putih menempel pada bodynya, tengah mempersiapkan setingan untuk pengambilan gambar.

Sekilas tidak ada masalah. Saya duduk di kursi cukup empuk ini dan nyaman, ditambah cahaya redup udara sejuk maka perlahan membawa suasana menerawang sangat jauh. Kini si sifat iri mulai menjalar keseluruh tubuh saya, sedikt demi sedikit mulai naik seperti kabut menyelimuti sebuah bukit, hingga akhirnya rasa iri tiba di hatiku.
“ aku ingin Iphone ! geretak hatiku.“ sebuah alat itu bak kantong doraemon yang di dalamnya banyak fitur,tools,hingga ada jaringan gaib. Cukup menempelkan jari pada layarnya semua isi dunia sudah ada di tangan. Hati ku panas walau malam itu hawa cukup sejuk.

Saat berusaha mengalihkan ke arah depan bukannya sembuh malah tambah overheart karena melihat sebuah Blackbery. Tak bisa berkata lain, tak bisa bergerak ,hanya melamun saja. Saat mengatur nafas yang sedari tadi tak teratur.
kini malah tambah kacau apalagi hati ini rasanya mulai mau pecah saat melirik Camera EOS 1D mark III,body hitamnya yang tegap malah terlihat angun dan bahenol diremang-remangnya cahaya. Camera yang mempunyai Continuous Speed 10 fps with 110/30 Burst. Belum lagi di dalamnya terpatri DUAL DIGIC III, yang mampu mengatasi semua kondisi cahaya. Lensanyapun mulai memperparah keadaan hatiku, warna putih yang terang mulai mengingatkan kembali kehebatannya dengan bukaan f/3.5.mampu mencomot objek dari kejauhan dengan hasil special tanpa goyang karena tercover oleh Image stablizernya. Kini aku hanya lemes…

bonjuu…kalimat itulah yang menyadarkanku dari suasana “aku ingin” kini aku mulai menyembuhkan diri dengan menyaksikan pertunjukan dance rap yang dibawakan pleh lima pria asal Francis.

Di tengah pertunjukan saat salah seorang dari actor itu menggoyangkan seluruh badannya aku menyadarai semua tadi, bahwa mata dan hati harus kita “sekolahkan”agar senan tiasa sadar bahwa apa yang kita miliki patut di syukuri. Amien.

Medio, Mei 2009